Sepuluh Windu Kebangkitan Pemuda Indonesia

Oleh : Denhas Mubaroq T.A

(aktivis kepemudaan)

Tidak ada perasaan apapun yang terlintas dalam dada saya ketika segumpal ikrar yang menggugah rasa patriotisme, persatuan dalam kebehinekaan diikrarkan di Museum Sumpah Pemuda (10-sep-08). Dalam ungkapan – ungkapan yang sangat sederhana namun membangkitkan semangat perjuangan, sebuah sumpah yang dideklarasikan telah menghasilkan suatu bangsa yang dicita-citakan yakni bangsa Indonesia.

Sebuah bangsa dan kebudayaan adalah mimpi kolektif (imajinasi) sekelompok manusia pada situasi dan kondisi tertentu. Begitupun menurut Gustavo de las Casas, sebuah bangsa adalah suatu perasaan yang bersifat kolektif dengan menjadikannya sebuah keluarga yang besar. Dalam perjuangannya untuk membentuk suatu bangsa tentunya para pemuda memakai kerangka metodelogi filsafat bahasa, sebab konteks bahasa adalah suatu identitas sebuah bangsa yang akan diperkenalkan ke seluruh dunia. Saya terheran kenapa bahasa sebagai pemersatu perjuangan? Apakah karena perkumpulan deklarasi sumpah pemuda berasal dari kalangan sastrawan, tetapi bagaimanapun juga kita cukup apresiatif terhadap semangat persatuan yang digelorakan pada saat itu.

Kemudian bagaimana makna sesungguhnya dari nilai ‘kesatuan’ itu, apakah dapat menyelesaikan permasalahan yang sangat kompleks. Banyak problem yang terus menggerogoti integritas bangsa seperti kemiskinan, konfik, KKN, krimininalitas serta banyak lagi. Dalam kenyataannya 40 persen bangsa belum sejahtera sehingga nilai keadilan social masih kabur, kemudian solidaritas bangsa tidak lagi berfungsi sehingga bangsa ini terancam oleh intoleransi, anarkisme yang selalu mengarahkan mnusia Indonesia sebagai manusia yang kerdil.

Kita tidak menyadari bahwa bangsa kita adalah bangsa majemuk, itu artinya kita akan bersatu apabila semua dihormati dalam indentitasnya baik cultural, keagamaan, atau pandangan hidup masing-masing. Sering terucap di media bahwa agenda utama dalam pemerintahan reformasi adalah pemulihan ekonomi serta mencegah disintegrasi dan menstabilkan social politik. Ini merupakan persoalan nation building seperti yang dikatakan Miron Wainer (1978) integritas bangsa adalah salah satu aspek lain dari integritas politik dalam suatu Negara. Dalam mencapai integritas politik tentunya Wainer mengajukan strategi, diantaranya para elite penguasa harus merekam aspirasi masyarakat, dimana menghindari jurang pemisah antara penguasa (elite) dan rakyat, serta harus melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan bagi pembangunan suatu bangsa. Jelas bahwa ini bentuk emansipatoris untuk menyelesaikan kedaulatan ekonomi nasional ataupun social politik yang sehat dan mensejahtrakan rakyet. Kalau kita mengambil konsep keadilan John Rawls saya yakin prinsip emansipatoris masyarakat sangat berpeluang untuk mencerdaskan dan menghidupi selayak mungkin para anggota masyarakat dengan partisipasi pemerintah yang selalu membuka peluang dalam bentuk subsidi silang terhadap masyarakat yang kurang beruntung.

. Dengan demikian suatu bangsa yang nilainya luhur berdasarkan nilai kemanusiaan yang hidup berdasarkan keadilan, kebenaran yang tidak lagi terbatas oleh perasaan sempit akibat perbedaan. Mimpi bangsa ini tentunya pembebasan nasional, social, dan individual. Artinya kita harus terlepas dari hasrat atau agresi yang selalu menentukan kehidupan orang lain atau membenci orang lain akibat perbedaan. Maka konflik vertical ataupun horizontal selalu menindas dan mengisap darah manusia lain (pamvire) itu sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Kita sebagai kaum muda yang memang dikenal sebagai kalangan yang kritis dan berani tentunya harus menjadi pencipta atau melestarikan kebudayaan untuk melawan kecenderungan umum dalam perkembangan tatanan ekonomi kapitalis, maka posisi kaum muda saat ini sebagai agen counter-culture (alat budaya tandinga). Menengok kondisi sekarang kaum muda sedang kehilangan jati diri seolah-olah tersesat dirumahnya sendiri, untuk itu kita mengambil bahasanya Counter culture (1982) dimana menciptakan seperangkat norma dan nilai dari sebuah kelompok yang secara tajam bertentangan dengan nilai dominant dalam masyarakat dimana kelompok itu menjadi bagiannya” artinya kauam muda mengalami keresahan terhadap krisis bangsanya akibat globalisasi, kapitalisme yang memiskinkan dan merugikan bangsa sendiri, maka kaum muda harus angkat senjata dengan menciptakan produk seni, sastra dan budaya yang kritis terhadap perkembangan kebudayaan asing yang telah menddominasi sehingga kita tarasingkan (alienasi).

Kita masih banyak kesempatan untuk berbuat demi masa depan bangsa, seperti Anthony Giddens mengatakan “bahwa kematian peradaban selalu diawali dengan miskinnya kesadaran rekleftif-diskursif masyarakat, dalam konteks ini maka kita tidak hanya rutinitas melakukan peringatn hari-hari besar secara seremonial saja, namun harus lebih aflikatif dengan sesuai konteks. Kesimpulannya bagi saya sekarang saatnya pemuda sebagai pelopor bagi setiap proses transpormasi untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks, maka saya akan menangis jikalau saya mengisi kemerdekaan ini dengan penuh patriotisme. Dan suatu saat ketika saya berkesempatan mendengarkan bait sumpah pemuda dengan izinnya kami akan merenung.

Bacaan :

  • Frans Magnis, makalah bersatu merajut Indonesia. Yayasan daya muda nusantara 2008. Jkt.
  • Wafid Muharam, makalah dimanakah ujung tombak perubahan itu. 2008 .Jkt
  • Chavcay Saefullah, makalah mendedah langkah generasi penentu. Seminar public sepuluh windu sumpah pemuda, 2008. Jkt
  • Fadjrul Rachman, merebut mimpi Indonesia. Seminar public pemuda, 2008. Musium sumpah pemuda, Jkt

Tinggalkan komentar