KEHILANGAN KONSENSUS: PILAR KOMUNIKASI YANG KONSTRUKTIF ANTARA MASYARAKAT DAN PEMERINTAH

Agustus 8, 2011

0leh: Denhas Mubarok T.A (Ketua ParWI Daerah Purwakarta)

 

Pemerintahan Kabupaten Purwakarta akhir-akhir ini selalu memanfaatkan momentum-momentum yang acapkali membuat sebagaian masyarakat heran dan saling bertanya, ada beberapa hal yang menjadi bangunan opini liar di beberapa stackholders yang cukup menarik untuk didiskusikan diantaranya pesta tumpeng, pembuatan patung, gempungan dan kegitan lainnya yang seakan memiliki nilai lebih dimata masyarakat. Memang ide itu cukup brilian yang tentu memiliki manfaat bagi masyarakat baik  secara langsung maupun tidak.

Namun yang kosong disini adalah bentuk komunikasi, baik itu secara tatap muka (face to face communications), maupun komunikasi bermedia (mediated communications) secara timbal balik (two way reciprocal communications) antara pemerintah dan stacholders. Variable komunikasi itu mesti jadi catatan, bagaimanapun pemerintah masih buram melihat kondisi akar rumput (grass root) yang sebenarnya, contoh kecil apakah pemerintah telah memiliki data yang valid melalui survey terkait kebijakan, kegiatan yang selama ini telah dan sedang berlangsung, apakah pesta tumpeng itu membuat PNS menguntungkan atau sebaliknya, apakah gempungan itu tidak menjadi beban bagi Kepala Desa. Atau jangan-jangan dari kegiatan yang selama ini yang dianggap strategis dalam mendekatkan pemimpin dan rakyatnya itu menjadi blunder dan ancaman.

Sudah menjadi kepastian dalam hal pembangunan daerah terdapat kontadiktif. Namun bagaimanapun juga pemerintah harus belajar bahwa inilah dinamika demokrasi yang dipayungi otonomi daerah sehingga harus bisa berlaku adil dan bebas nilai terhadap kepentingan masyarakkat secara holistic, bukan sebagai sponsor bagi klompok tertentu. Sebagaimana UU No. 25 tahun 1999, daerah otonom mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan publik berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan adanya pertanggung jawaban (akuntabilitas) kepada masyarakat.

Sudah menjadi landasan dasar bahwa semua aktivitas pemerintah dalam menjalankan tugasnya termasuk proses pembangunan perlu adanya partisipasi publik sebagai agent controlling, pertanyaannya apakah selama ini tokoh masyarakat, para inohong, akademisi, parkatisi, dan alim ulama diajak untuk berdialog atau hiring terkait pembangunan oleh pemerintah. Sejatinya bentuk komunikasi massa berjalan dengan baik antara pemerintah dan masyarakat, sebab menjadi hipotesa awal jika suatu luapan masyarakat yang tidak bisa dibendung akan menjadi kerikil yang tersebar dan membahayakan eksistensi pemerintah itu sendiri. Contoh sederhana dari pembakaran patung di Jalan Tengah, itu merupakan cerminan riakan-riakan masyarakat yang sudah tidak bisa dibendung akibat aspirasi dan keinginan masyarakat tidak ditanggapi dengan baik.

Selain itu komunikasi politik sering dilupakan akibat power full nya eksekutif dalam melenggangkan kekuasaannya. Melihat kondisi  saat ini etika politik yang belum terlalu kuat sehingga kompetisi politikpun berjalan tidak sehat, tidak fair dan inkonstitusional. Melihat kondisi parlemen yang saat ini tidak memiliki konsistensi dan keberpihakan terhadap partai membuat perselingkuhan terjadi antara eksekutif dan legislative.

Semua  memiliki rule of the game, tidak bisa dibiarkan menebar kekuasaan dengan tidak etis yang pendekatannya irasional, mistis, bahkan terbuai masa historis yang tidak didasari akademik. Mau tidak mau ini merupakan cara penguasa dengan menciptakan political opponent (lawan politik) yang memang harus tetap menghormati aturan permainan di atas ring (politik). Namun logika itu tetap tidak berlaku sebab bagi penguasa kemenangan dan mempertahankan kekuasaan adalah segala-galanya. Moral dan politik menurut Plato adalah dua saudara kembar yang tidak boleh dipisahkan, sebagaimana halnya moral sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk menentukan nilai baik dan buruk atau benar dan salah dari setiap praktik dan keinginan setiap orang dalam masyarakat, maka politik dibutuhkan untuk mengatur masyarakat  sesuai dengan aturan-aturan moral yang diterima oleh anggota-anggota masyarakat.

Semoga masyarakat, stakeholders yang memiliki ekspektasi terhadap perubahan Purwakarta ke depan dapat menerima, bagitupun pemerintah yang saat ini dinilai pasif ke depan bisa membuka diri sehingga terjadi Konsensus yang tepat dan berimbang (balances).


Pembangunan teransportasi terlupakan

Maret 30, 2011

Oleh: Denhas Mubarok T.A
(Ketua ParWI Purwakarta)

Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial, dan sebagainya. Dalam kerangka makro-ekonomi, transportasi merupakan tulang punggung perekonomian nasional, regional, dan lokal, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Harus diingat bahwa sistem transportasi memiliki sifat sistem jaringan di mana kinerja pelayanan transportasi sangat dipengaruhi oleh integrasi dan keterpaduan jaringan.
Berbicara system tentu tidak terlepas dengan yang namanya manajemen, dan itu tertera dalam Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No 21 Tahun 2001 tentang penyelenggaraan perhubungan dalam pasal 4 ayat (1) terdefinisikan bahwa pengertian manajemen lalulintas meliputi kegiatan perencanaan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian lalu lintas yang bertujuan untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.
Kemudian bagaimana kondisi manajemen lalulintas kita, belum menjadi jaminan tentunya ketika jalan “leucir” menjadi kebutuhan mendasar masyarakat Purwakarta. Terhitung banyak tentunya perencanaan-perencanaan pembangunan yang terkait dengan sarana dan prasarana kebutuhan lalulintas dan perhubungan yang tidak tepat guna dengan kata lain mubadzir, contoh kongkrit terminal Plered. Selain itu perencanaan dan pengawasan yang tidak jelas dalam membangun terminal semisal perencanaan terminal Sadang yang sampai saat ini tidak terealisasi. Pemerintah rasanya tidak peduli bahkan apatis terkait pembangunan terminal di Purwakarta, terbukti tidak satupun terminal yang representative sesuai dengan kelasnya. Seperti kelas A dimana berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dan propinsi, kelas B antar kota dalam propinsi dan C kota dan pedesaan.
Mengacu pada UU No 14 Tahun 1992 Pasal 9 dikatakan bahwa terminal sebagai penunjang kelancaran mobilitas orang atau barang dan untuk terlaksananya keterpaduan intra dan antar moda secara lancar dan tertib maka pembangunan terminal dilaksanakan oleh pemerintah dan sangat bertanggung jawab. Untuk itu perlu adanya kajian ulang terhadap kebijakan – kebijakan pemerintah yang sering sekali melenceng pada subtansi kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat diwilayah perkotaan yang sering sekali terkena dampak akibat manajemen transportasi yang tidak berdasarkan Undang-Undang.
Disadari atau tidak kelancaran lalulintas dan keselamatan menuntut kita untuk menjadi masyarakat yang tertib pada aturan, ironis tentunya jika sarana sebagai wujud dari aturan itu tidak nampak pada kenyataan. Kita pertanyakan secara seksama, apakah di setiap perempatan atau pertigaan di Purwakarta seperti perapatan Kebon Kolot, Maracang terdapatnya rambu-rambu lalulintas yang berfungsi, kemudian fasilitas pendukung pengguna jalan seperti halte yang memadai, alat pemberi isyarat lalulintas yang komplit.
Sejalan era otonomi daerah saat ini, transportasi memegang peranan penting bagi kelancaran pertumbuhan ekonomi daerah. Perubahan sistem dari sentralisasi menjadi desentralisasi membawa angin segar bagi daerah Purwakarta agar sebisa mungkin dapat mendayagunakan kemampuan dan potensi daerahnya untuk kelangsungan pembangunan. Distribusi barang dan jasa yang baik dan lancar menuntut keberadaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai agar distribusi mampu mengcover seluruh lingkup daerah tersebut. Sejalan dengan isi UU No: 22 tahun 2009 yang mempunyai peran strategi dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai upaya memajukan kesejahtraan umum.
Penetapan sasaran dan arah kebijakan system lalulintas dan angkutan jalan yang baik tentunya akan menjadi modal bagi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan anggaran daerah (PAD) yang signifikan, selain membuat tataruang kota yang nyaman juga mencegah kemacetan dan kecelakaan lalulintas. Legislative perlu mengkaji ulang peraturan daerah atau PERDA No 14 Tahun 2005 tentang penyelenggaraan angkutan di jalan dengan kendaraan umum. Yang sampai saat ini masih belum bermanfaat terhadap masyarakat, baik itu tentang perda retribusi maupun izin trayek termasuk bus karyawan yang tidak mengindahkan Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No 35 Tahun 1992 tentang angkutan jalan.
Semua itu tidak terlepas dari kinerja Dinas Perhubungan Kebudayaan Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (dishubparpostel) Kabupaten Purwakarta yang memiliki tanggungjawab sesuai tugas pokok dan fungsi (tufoksi). Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pejabat baru yang menduduki dishubparpostel, sehingga masyarakat berharap agar peran dan kinerjanya bisa membawa Purwakarta menjadi Kabupaten yang tertib dalam penataan lalulintas. Penataan lalulintas adalah tindakan atau upaya manajemen lalu lintas yang dilakukan untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja lalu lintas. Semua itu tidak terlepas dari koordinasi dan kerja sama dengan Polres Purwakarta.
Selain unsure pemerintah tentu juga dibutuhkan dari pihak masyarakat dan akademisi yang memiliki kepedulian terhadap lalulintas dan trayek angkuan kota, dan saat ini organisasi yang berkecimpung diwilayah sana tentu ORGANDA. Kemudian apakah saat ini lembaga tersebut telah melakukan advokasi atau memberikan warna perubahan terhadap system transfortasi di Purakarta. Sehingga ketika adanya pemasalahan yang muncul terkait transportasi angkutan diharapkan semua kalangan yang sudah terintegritas bisa memberikan pandangan dan arahan terhadap kebijakan pemerintah daerah.
Terpenting saat ini, terdapat empat hal yang kita bisa jadikan tolok ukur dalam melakukan evaluasi sederhana kondisi transportasi kita, yaitu: keselamatan, keamanan, keterjangkauan, dan kenyamanan yang disingkat menjadi 4K.
Aspek pertama dan utama adalah masalah keselamatan. Hal ini tidak bisa ditawar karena kita semua tentunya tidak menginginkan musibah menimpa diri kita. Berbagai data kecelakaan kendaraan bermotor terutama roda menunjukkan bahwa angka korban kecelakaan meninggal dunia dan luka cukup mencengangkan, terakhir tabrakan roda dua pada hari Selasa (29/03/2011) sekitar jam 10 pagi di depan BANK Jabar yang menewaskan salah satu pengendara.
Aspek kedua adalah keamanan. Berbagai survei transportasi, baik di perkotaan maupun antarkota dan desa memperlihatkan bahwa para penumpang umumnya masih menempatkan aspek ini ke dalam dua hal utama dalam melakukan perjalanan.
Ketiga adalah masalah keterjangkauan. Seseorang memilih alat angkut tentunya berdasarkan anggaran di kantong masing-masing, sehingga aspek keterjangkauan ini tidak menyusahkan rakyat banyak. Pelayanan angkutan kota (angkot), yang sering kali dianggap sebagai kewajiban pelayanan umum, telah dicoba untuk diatur sehingga masyarakat berpenghasilan rendah dapat memiliki berbagai aksesibilitas dalam aktivitas kesehariannya. Tinggal pemerintah bisa memberikan pelayanan terhadap para supir angkutan dan pengusahanya.
Aspek terakhir yakni kenyamanan. Dalam suasana di mana pasokan (supply) jauh lebih kecil daripada permintaan (demand), maka aspek ini tampaknya harus agak ditoleransi oleh para penumpang angkutan umum, utamanya yang berkantong pas-pasan. Kenyamanan tampaknya menjadi aspek luxury bagi sebagian besar pengguna transportasi. Dari mulai mereka yang berjalan kaki, naik kendaraan tidak bermotor, sepeda motor, hingga kendaraan mewah, tidak akan terlepas dari aspek ketidaknyamanan, tentunya dengan derajat yang berbeda-beda.
Kebanyakan dari negara maju menganggap pembangunan transportasi merupakan bagian yang integral dari pembangunan perekonomian. Ada baiknya pemerintah daerah Purwakarta memperhatikan hal tersebut, selain itu sistem transportasi dan logistik yang efisien merupakan hal penting dalam menentukan keunggulan kompetitif dan juga terhadap pertumbuhan pembangunan daerah.


Paradoks Komunikasi Politik Golkar Purwakarta Oleh; Denhas Mubarok T.A (Ketua ParWI Daerah Purwakarta)

Februari 20, 2011

Polemik yang terjadi pada partai Golkar saat ini menjadi jawaban atas keseriusan para stakeholders partai untuk menunjukan kekuatan masing-masing. Beberapa strategi alternative di mainkan oleh para aktor yang dinilai berpengaruh untuk saling melawan rival-rivalnya dengan beberapa manufer politik, kalau kita cermati dari beberapa rentetan polemik terkesan menjadi sebuah permainan tarik ulur antara pengurus partai dan anggota fraksi yang bisa disebut the political game ala golkar.
Representasi paling nyata dari proses politik yang pekat dengan kepentingan bermula pada komunikasi politik yang tidak harmonis. Berangkat dari usulan pencopotan salah satu kader golkar dari posisi ketua DPRD berimplikasi pada perpecahan di tubuh partai yang memiliki kursi terbanyak di Gedung Putih.
Bagi fraksi golkar usulan pencopotan itu beralasan, yang mana Ucok dinilai sering memutuskan atau membuat pernyataan yang tidak sejalan dengan fraksi. Ironis tentunya jika bernaung satu atap tetapi tidak terbentuk diolog konstruktif yang terbuka atas dasar kebersamaan, dan ini perlu hati-hati sebab dari intrik internal akan menjadi efek bumerang terhadap golkar kedepan.
Perlu kita cermati bahwa seorang anggota maupun pimpinan dewan tidak terlepas dari representasi partai, sosok simbolik dari beberapa kepentingan dapat terealisasikan jika terbentuk kesadaran kolektivitas bahwa mereka (anggota dewan) sadar betul dalam menduduki Gedung Putih itu memakai kendaraan, bukan selonong boy begitu saja. Mungkin disini tidak terbentuk kohesivitas kelompok yang solid antara pimpinan partai dan anggota anggota dewannya.
Jika dianalisis dari komunikasi persuasive, eksistensi anggota dewan khususnya partai golkar tidak menyentuh dan melakukan itu dengan stakeholders partai sehingga respon pimpinan partai negative. Mungkin tidak hanya internal partai saja, boleh jadi publik berperhatian (attentive public) yang menilai bahwa partai golkar penuh dengan irisan konflik, sehingga citra terkini (curren image) melekat dengan bagian itu. Dan jadilah opini public yang tidak menyehatkan akan nilai demokrasi di Kabupaten Purwakarta.
Sebetulnya PAW (pergantian antar waktu) terhadap Lalam Cs merupakan hak pimpinan partai itupun harus sesuai prosedur dan proses seperti peringatan, teguran, dialog dengan beberapa pertimbangan. Jika profesional dan memahami mekanisme serta atauran main partai seorang anggota harusnya menerima dengan legowo atas tindak-tanduk yang merugikan partai, dan ini menjadi cerminan bagi yang lainnya. Namun sangat disayangkan jika anggota yang lainnya terasa terusik dan membuat kesepakatan dengan bernotaris, yang intinya menolak adanya PAW. Ini merupakan metode persuasive yang dikenal dengan fear ausanne yaitu metode menakut-nakuti atau ancaman yang bersifat hegemoni.
Dari metode itu muncul desakan musyawarah daerah luar biasa (Musdalub), dengan kekuatan 15 PK yang telah sepakat sebagai bentuk kekecewaan terhadap partai. Dan yang tidak mencerminkan seorang kader yang kredibel adalah prilaku gegabah, seperti pemalsuan stempel yang dilakukan wakil sekertaris. Itu merupakan kerugian partai dalam membina kader yang belum representatif, sehingga masyarakat menilai apatis terhadap eksistensi partai dalam beberapa pemilukada.
Saya melihat problem ini menjadi sebuah agregasi kepentingan partai menjadi beberapa kubu, dan strategi alternative untuk mengakomodir beberpa kubu ini tidak perlu adanya intervensi dari DPD Jabar mauapun DPP. Pembentukan tim investigasi dari propinsipun ataupun DPP pun tidak akan bisa mengerai masalah, karena ini merupakan kompromi politik internal.
Titik krusialnya adalah konsesus, sehingga terakomodirnya beberapa kepentingan yang selam ini teralienasi. Sebetulnya kompromi politikpun tidak menjadi jalan keluar dalam pendidikan kader untuk loyal terhadap partai. Konflik ini justeru akan terus terulang, jika tidak ada kesadaran pendidikan politik dari beberapa stakeholders partai dan ketegasan pimpinan partai. Ini seperti yang dikatakan Albert Bandura yang mengatakan bahwa prinsip manusia bermula dari imitasi (peniruan), lihat saja rentetan sejarahnya.
Intinya adalah membangun kembali komunikasi yang partisipatif, akomodatif sehingga mempertemukan kepentingan fraksi dan pimpinan partai serta stakeholders lainnya. Sesegera mungkin untuk meredam arogansi para elit partai dan bebaskan dari pola mekanistik-transaksional dalam prilaku elit politik partai sehingga tidak melakukan lagi persekongkolan secara sadar dan “berjamaah” untuk mendiskriditkan sesama kader partai.
Satu hal lagi, manajemen konfliknya terasa berpengaruh pada kontelasi politik purwakarta secara keseluruhan, namun yang sangat disayangkan untuk mengakhiri dan mengevaluasi konfliknya tidak jelas dan kabur.


Valentine’s Day Seremoni Kultural yang telah Mengakar

Juni 24, 2010

Oleh: Denhas Mubarok T.A

(Ketua Umum ParWI Parliament watch Indonesia Kab.Purwakarta)

Hegemoni budaya telah menghilangkan jati diri para remaja, beberapa peradaban dibenturkan melalui arus informasi global. Pengaruh budaya barat atau dikenal dengan westernisasi merasuk pada sendi-sendi kearipan lokal bahkan mendobrak pintu agama. Berdalih kasih sayang, dan perasaan saling mencintai sesama manusia dapat menebar kebenaran yang universal. Tepatnya bulan ini semarak seremoni dalam mengaktualisasikan kasih sayang yang diwadahi budaya hedon telah ramai di perbincangkan bahkan dinantikan oleh kalangan remaja.

Tak heran dibeberapa kota besar banyak tempat hiburan telah dipersiapkan demi menyambut Valentine’s Day, bahkan beberapa icon bermunculan dimedia cetak atau televisi dengan bentuk yang pariatif. ada berupa kado, coklat, bunga dan lain-lain. Itu semua merupakan simbol yang tidak memiliki subtansi apapun dari ritual tersebut.

Bentuk perayaan yang bertepatan pada tanggal 14 Februari ini telah lama menjadi “seremoni cultural” yang menjadi kebiasaan melayu termasuk Indonesia. Beberapa kontroversi tidak menjadikan alasan untuk melaksanakan ritual ini. kritik dan opini yang dibangun oleh beberapa Ulama hanya dipandang sebagai seruan saja. Pagar-pagar syari’at dicopoti demi kemaslahatan kebiasaan yang telah mengakar. Nampaknya jelas perlu ada reinterpretasi terkait Valentine’s Day. Banyak kalangan remaja yang tidak tahu asal mulanya momen ini, sehingga sepatutnya kita paparkan historis dari beberapa referensi terkait Valentine’s Day.

Pada mulanya St.Valentine adalah seorang pendeta yang bijak, namun akibat pertentangannya dengan penguasa Romawi pada waktu itu Claudius II (268-270M) yang melarang adanya pernikahan dikalangan muda. Akibatnya pada tanggal 14 Februari 270M Valentine di hukum mati. Dan akibat perjuangannya dan kegigihan dalam membela pendapatnya, maka dia dianugrahi sebagai martyr atau syuhada (dalam Islam) dengan symbol ketabahan, dan berani dalam menjalani cobaan hidup. maka para pengikutnya memperingati hari kematian yang sekaligus dijadikan sebagai upacara keagamaan.

Namun upacara keagamaan itu berangsur-angsur hilang mulai abad 16M, bahkan dikaitkan dengan pesta perayaan jamuan kasih sayang, bangsa Romawi kuno yang disebut “supercalis” tepatnya pada tanggal 15 Februari yang akhirnya orang-orang Romawi itu masuk pada ajaran Nasrani (kristian). Kemudian, penerimaan upacara kematian St.Valentine secara kebetulan kepercayaan orang Eropa pada tanggal 14 Februari. bertepatan dengan waktu “kasih sayang” yang mulai bersemi bagai burung jantan dan betina.

Cerita ini lebih dari 1700 Tahun yang lalu. apakah tidak ada interpretasi-interpretasi lain yang sangat jauh dari objektifitas Valentine semakin kabur bahkan ngawur?. Potensi nalar kita seolah terkotori nafsu saat kesadaran palsu mengilustrasikan kasih sayang kita terhadap lawan jenis. Bayangkan, beberapa anak muda berkencan dengan dalih menabur cinta diantara mereka. Kalangan muda-mudi kehilangan kesuciannya demi jalinan kasih yang diyakininya. Padahal, polarisasi berhubungan dalam Agama apapun termasuk Islam sangat terjaga. Artinya, ada batasan-batasan tertentu dalam menjalin hubungan antara kaum Adam dan Hawa. Agama apapun sangat mencela hubungan bebas.

Kita tahu bahwa akal terdiri dari dua unsure. Yaitu, rasio dan hati. maka tak heran pada moment Valentin’s Day, banyak para remaja yang terjerembab pada kubangan hati yang memanfaatkan potensi nafsu birahi. Terkadang melihat fenomena itu semakin bias dan tumpang tindih antara kultur dan agama, seakan agamapun terproteksi sesuai lajunya perkembangan zaman.

Bukan berarti Agama khususnya Islam tidak memperbolehkan menabur kasih sayang, sebetulnya dalam urusan hati manusiapun dianugrahi sifat cenderung pada kebaikan (hanif). Dan sifat hanif ini terlihat begitu kasat mata dalam hablumminannas (hubungan antara sesama manusia). kita tahu bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk berbuat baik pada sesama, tidak memandang apakah dia muslim atau nonmuslim. Artinya, ini tidak lain bahwa manusia itu dianugrahi sifat hanif dan saling menyayangi sesama manusia.

Kemudian dalam kata kunci menyayangi yang paling berperan adalah nafsu (keinginan), maka dengan nafsu itulah manusia dapat mengemban amanah dalam menjaga kesuciannya dari hal-hal yang negative. Bagaimana eksistensi nafsu baik (nafsu mutmainnah) dan nafsu keburukan (nafsu amarah) dalam diri manusia saling mendominasi, jika kerangka berfikir (frame of thinking) sebagian saudara  kita masih merayakan Valentin’s Day. maka nafsu mutmainnah- nya telah terdominasi oleh nafsu amarah.

Disadari atau tidak, upaya tradisi yang tidak sesuai tata nilai ajaran kita seakan menjadi tuntutan yang harus dilakukan. Padahal, ritualisasi ini tidak bisa ditolerir dan ini pembohongan publik yang paling besar. Atau bisa disebut juga dengan “taklid cultural” dikarenakan ketidaktahuan asalmuasal Valentine, maka generasi- kegenerasi menjadi budaya yang lumrah, padahal dasar hukum dari taklid itu dikecam. Taklid akan membawa pada kejumudan, jika sudah demikian maka susah dalam memcari cahaya kebenaran.

Walaupun berat keluar dari kungkungan ego dan menjauh dari bayangan kepalsuan, namun kita harus yakin bahwa dalam menggapai kemerdekaan dan menggapai kebebasan hidup telah diatur oleh aturan Ilahi, dan bukan aturan atau kepentingan bahkan kebiasaan makluk.

Moment yang membius ketidaksadaran ini dapat mengaburkan kita pada cinta yang hakiki. Yakni, dialah yang patut dicintai dan berhak untuk mencintai hambanya Tuhan semesta alam.  Seperti yang tertera dalam hadis Qudsi: “Kecintaanku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling berkorban karena Aku dan yang saling mengunjungi karena Aku.” (Riwayat Ahmad).

Untuk itu bukalah topeng-topeng kepalsuan, anak-anak negeri harus berani berseru pada pergaulan yang baik dan normative sesuai ajaran Tuhan. Semoga kebiasan ini dapat luntur dan hilang pada suatu zaman dimana semua nilai kebiasaan kembali berpijak pada nurani.


Cepat, Tanggap Mencerminkan Realisasi Kebijakan

Juni 24, 2010

Oleh: Denhas Mubarok T.A

(Pengamat Politik)

Mengingat UU no 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, bahwa dalam mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintah harus sesuai asas otonomi. Semua itu diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat[1].

Dengan meningkatkan daya saing daerah dan memperhatikan prinsip demokrasi tentunya akan terjadi pemerataan pembangunan, baik ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Melihat konteks Purwakarta sesuai Visi Bupati H.Dedi Mulyadi S.H untuk meningkatkan pembangunan daerah  harus memiliki karakter yang berbasis kearifan lokal.

Beberapa penjabarannya diartikulasikan melalui Misi. Pertama, pembangunan yang berbasis religi dan, yang berorientasi pada keunggulan pendidikan, kesehatan, pertanian, industri dan perdagangan. Kedua mengembangkan infrastruktur dalam kompetisi global. Ketiga, meningkatkan keutuhan lingkungan, baik fisik atau social, dan terakhir mengembangkan struktur pemerintahan yang efektif dimana berorientasi pada kepuasan pelayanan publik demi kemakmuran rakyat.

Berangkat dari visi misi itulah maka keluar rumusan kebijakan strategis dengan semboyan Sembilan Langkah Menuju Digjaya Purwakarta. Dari beberapa rumusan kebijakan itu pendidikan merupakan point pertama yang menjadi dasar strategis. Ini merupakan keputusan yang tepat, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 bahwa pendidikan adalah hak setiap warga Negara.

Berbicara tentang pendidikan tentunya berbicara tentang keutuhan sumberdaya manusia, bagaimana sistem pendidikan menjadi tolak ukur kedigjayaan masyarakat purwakarta. Dengan kebijakan pendidikan gratis sampai SLTA bagi masyarakat miskin, kemudian pembebasan biaya pembalian buku sekolah dan pengembangan kurikulum pendidikan baca tulis Qur-an dari mulai TK sampai tingkat SLTA bagi yang muslim, masyarakat setidaknya saat ini  sangat terbantu untuk meningkatkan kesejahteraan masadepan anaknya. Namun kenyataannya  dilapangan tidak seluruh masyarakat dapat menikmati kebijakan itu, apalagi masyarakat yang berada di pelosok-pelosok yang surut informasi.

Dalam hal ini Dinas Pendidikan pemuda dan olah raga (Disdikpora)  memiliki peran utama, sehingga harus mampu dengan cepat tanggap dan professional terhadap persoalan pendidikan di Kab. Purwakarta. Bagi penulis Disdikpora merupakan guru bagi Dinas-Dinas lainnya, selayaknya guru selalu memberikan tauladan yang fositiv bagi muridnya, bukan sebaliknya.

Penulis teringat kegiatan “seminar sehari” Pendidikan Kejujuran 14 Maret 2009 dengan tema Membentuk Civitas Akademika yang Berbasis Intelektualitas dan Moralitas. Kegiatan itu diselenggarakan oleh CSI (center survei Indonesia) yang bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Saat itu undangan telah kita kirimkan sesuai prosedur, namun sangat disayangkan Kepala Dinas dan Wakilnyapun tidak bisa menghadiri acara itu tanpa argument yang jelas. Dari hal-hal seperti itu tentunya harus diperhatikan, dan jangan sampai terucap; nanti kami selidiki dan periksa mereka, ujar temen-temen KPK.

Secara administrastif saat ini banyak pelanggaran, seperti pembukuan sampai kedisiplinan pegawai, terbukti saat diadakannya sidak (inspeksi mendadak) yang dilakukan oleh Inspektorat ke 17 UPTD Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora).[2] Selain itu, dalam beberapa kasus terakhir Disdikpora selalu lamban mengatasinya, seperti kasus pemukulan guru oleh oknum yang tak bertanggung jawab, sebagai advocator (Disdikpora) seharusnya harus bisa reaksioner terhadap kriminalisasi terhadap guru. Sebab bagaimanapun jaminan atas perlindungan Guru dari ancaman tertentu telah diatur oleh UU Guru dan Dosen serta diperkuat dengan Perda (Peraturan Daerah). Atau sebaliknya, beberapa pelanggaran yang dilakukan guru itu sendiri.

Selain itu kasus SDN I Cirangkong Kec. Cibatu yang melakukan intimidasi terhadap anak didik (murid).[3] Kemudian permasalahan yang rawan bagi keselamatan masyarakat dan ketertiban umum yakni prihal tawuran antar sekolah, dari beberapa kasus ini Disdikpora seharusnya tidak tinggal diam dan harus cepat tanggap untuk mengatasi problem secar professional dan bekerja sama dengan intansi yang terkait seperti Kapolres, pihak sekolah dan orang tua, bila perlu DPRD.

Bagaimanapun juga yang bertanggung jawab penuh atas sitem pendidikan adalah pemerintah dan masyarakat artinya bersama-sama memberikan konteribusi bagi terciptanya sistem pendidikan dengan integritas yang berkarakter.


[1] Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintah Daerah. Depkominfo, Pusat Informasi Politik, Hukum dan Keamanan, Jakarta 2005

[2] Baca Pasundan ekspres, Rabu 20 Januari hal.5

[3] Ibid. Kamis.21 Januari hal.4


Pelanggaran HAM dan Impunitas Mewarnai Image Polri

Maret 10, 2010

Oleh: Denhas Mubarok, T.A
(Ketua Parliament Wacth Indonesia Daerah Purwakarta)

Mengayomi dan melayani masyarakat menjadi tugas utama anggota kepolisian Republik Indonesia, dua variable itu selalu terpampang pada Pos penjagaan atau mobil patroli. Polri sudah dua tahun terakhir ini memfokuskan dirinya agar dapat bisa diterima dan dekat dengan masyarakat. Komunikasi persuasip terus dilancarkan demi agenda sesuai visi dan misinya. Kinerja kepolisian sesuai fungsinya tentu dapat menjaga keamanan dan ketertiban serta melindungi dari tindakan kriminalitas yang dapat mengancam keamanan masyarakat.
Reputasi kepolisisan semakin meningkat setelah berhasil menangkap gerbong dan jaringan teroris serta para koruptor di Tanah Air. Semakin menguatnya aksi-aksi teror yang meresahkan masyarakat, maka pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu) no:1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, selain itu Presiden mengintruksikan kepada Menko Polhukam dan Kepala Badan Intelejen Nasional (BIN) dalam intruksi Presiden (Inpres) nomor 4 dan 5 Tahun 2002 untuk segera merespon masalah terorisme di Indonesia. Pada akhirnya muncul Satuan Tugas Bom dan Datasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88) yang telah berhasil melancarkan beberapa oprasi nasional terpadu.
Namun dalam membentuk stigma positif tentunya Polri harus tetap professional ,konsisten dan bertanggung jawab atas beberapa anggotanya yang telah menyelewengkan tugas dan wewenangnya sebagai polisi. Tindakan represif yang dilancarkan oleh beberapa oknum polisi saat merusak kantor sekretariat dan Wisma HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang. Makasar sangat tidak terpuji. Dan itu harus ditindak secara tegas, bagaimanapun juga bentuk anarkis yang dilakukan oleh oknum polisi akan berdampak besar pada stigma yang saat ini Polri bangun.
Tentunya tindakan itu mengakibatkan kekecewaan bagi kader HMI se- Indonesia, sehingga tak heran jika diberbagai daerah respon mengecam oknum polisi dilancarkan secara antusias. Ini harus menjadi catatan kecil kepolisian agar dapat merekrut calon polisi yang penuh integritas serta menghargai Hak Asasi Manusia (HAM). Telah jelas bahwa penyerangan oknum sipil yang dipersenjatai (polisi) merupakan tindakan kesengajaan melalui teror dan kekerasan, tanpa ada surat tugas penangkapan atau surat administrastif lainnya. Dari beberapa oknum itu satu diantaranya adalah anggota Densus 88, apakah ada korelasinya antara teroris dan HMI? Tentu tidak dibenarkan hipotesa itu, sebab dalam tubuh HMI ada banyak ideology islam yang berbeda (plural).
Selain itu apakah HMI sebagai korban pengalihan isu terkait kasus Bank Century yang dinilai tidak konkrit dan memuaskan? Dalam ilmu komunikasi ada yang disebut analisis framing, mungkin saja HMI dijadikan sebagai tumbal isu untuk mengalihkan skandal Century agar terabaikan dari public. Media melihat framing HMI terletak pada konflik Vertikal yakni Mahasiswa VS Polisi, apalagi HMI berbentuk structural (pusat-daerah) dan bersifat intruksional. Berangkat dari polemik diatas seolah-olah ada kesan kesengajaan yang diagendakan (agenda seting).
Terlepas dari itu yang jelas tindakan oknum polisi tidak dibenarkan, sebab itu semua terkait dengan kebebasan Hak Asasi Manusia, apalagi negara kita berada dalam transisi demokrasi itu artinya penyampaian pendapat diumuka umum, transparansi publik serta penegakan hukum mutlak dijalankan dan harus dilindungi. Jika Polri tidak cepat menindak oknum bawahanya secara hukum dinyatakan adanya Impunitas artinya fenomena pembiaran terhadap para oknum (pelaku) dan tidak tertanganinya pelanggaran HAM dan pelbagai kejahatan di suatu Negara. Martha Meijer dalam risetnya, The Scope of Impunity in Indonesia (2006), mengatakan bahwa di Indonesia terdapat empat Impunitas, yaitu yang berkaitan dengan aspek kekuasaan, aspek hukum, aspek kultural, dan aspek Internasional. (HAM, Militer dan Bahaya Impunitas, Eddie Sius Riyadi Majalah ASASI 2008).
Sebetulnya fenomena ini tepat, sebab kita merasakan bahwa kekuasaan real politik saat ini masih berada dibawah cengkraman militer dan polisi. Kemudian secara kultur terdapat dalam kesadaran palsu bahkan ketidaksadaran kolektif jika masyarakat memandang bahwa konflik merupakan suatu cara dalam penyelesaian masalah, contoh carok di Madura. Dalam aspek hukum, Negara kita sangat rentan dengan impunitas, terkadang hukum selalu direlasikan dengan keadilan, padahal belum tentu. Sederhananya, keadilan itu bagaikan isi, sedangkan hukum merupakan wadahnya, maka hukum tanpa keadilan bukan lagi hukum, tetapi keadilan tanpa hukum tetaplah keadilan.
Berangkat dari fenomena konflik vertical antara mahasiswa dan polisi di Makasar tentunya harus tetap mengedepankan aspek keadilan. Sudah semestinya mekanisme dalam system internal kepolisian untuk menindak anggotanya itu tidak hanya pada pintu Bidang Profesi dan Pengamanan (PROPAM). Sebuah mekanisme pelaporan berbagai macam pelanggaran disiplin termasuk tindak premanisme yang dilakukan anggota kepolisian. Tapi terkadang proses ini sulit dipantau dan tidak transparan, mungkin saja hanya memberikan sanksi disipliner dan administratif. Kita lihat saja, para pelaku perusak kantor Cab. HMI Makasar saat ini belum ada transparansinya yang jelas, beda dengan pelaku curanmor atau maling ayam yang seringkali menjadi korban kekerasan massa sebelum di efakuasi.
sebagaimana komunitas Internasional telah menetapkan penyiksaan sebagai salah satu bentuk penyerangan yang sangat brutal dan tidak dapat diterima oleh martabat manusia. Penyiksaan dan bentuk penyerangan yang dilakukan oleh beberapa oknum anggota polisi terhadap anggota HMI Cab. Makasar merupakan kejahatan HAM. Secara konstitusional asas dan nilai HAM diatur dalam pasal 28 UUD 1945, (amandemen IV). Pelembagaan asas dan nilai HAM termasuk Komnas HAM kemudian diatur secara khusus dengan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No.26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Kedua payung hukum tersebut dapat memberi perlindungan HAM bagi masyarakat terhadap tindak kekerasan polisi dan militer. Tentunya hukum tersebut menjunjung tinggi martabat kemanusian dan keadilan.


Polemik Elit Menghambat Alurnya Demokrasi di Tubuh Beringin

Februari 28, 2010

Oleh: Denhas Mubarok, T.A
Ketua Umum ParWI (Parliament Wacth Indonesia) Daerah Purwakarta

Kapan, dan kenapa pelantikan pengurus DPD Partai Golkar priode 2010-2016 sampai saat ini kabur? Itu inti dari pertanyaan masyarakat yang tergolong sebagai attentive Publik (peka terhadap informasi), kita ketahui bersama bahwa eksistensi Partai Golkar tergolong masih mendominasi kekuasaan di Kab. Purwakarata terlihat dari posisi strategis antara Eksekutuif (Bupati) dan Ketua Legislative (Ket. DPRD) ke-duanya berangkat dari almamater yang sama. Harus diakui juga bahwa Partai Golkar saat pemilihan umum legislative Tahun lalu mengalami penurunan secara kuantitatif di Gedung Putih Ciganea. Gambaran itu seharusnya dijadikan acuan dan pelajaran untuk meningkatkan idealisme, integritas serta loyalitas para keder menjadi daya magnet agar dapat dipercaya kembali oleh masyarakat. Hal itu serupa juga menjadi target Ketua DPD Golkar Jawa Barat H Iryanto MS Safiudin (Yance).

Namun integritas itu tidak hadir ke permukaan saat berlangsungnya Musyawarah Daerah (Musda) VIII Partai Golkar tepatnya pada Tanggal 16-17 Januari 2010 di Hotel Plaza Kota Bukit Indah Purwakarta. Persaiangan sengit yang melibatkan para kader mulai dari Pengurus Kecamatan (PK) sampai elite partai dalam memilih Ketua DPD Partai Golkar Priode 2010-2016 sangat antusias. Tak heran jika banyak elite politik bermain melalui interpensi terhadap lajunya Musda, karena peran strategis dalam pemilihan ketua DPD baru merupakan aset investasi untuk mengamankan elite itu sendiri kedepannya. Money politic menjadikan ajang pragmatis bagi para kepentingan elite, bargaining position dijadikan senjata lobi, tarik ulur kompromi dan negosiasi dilancarkan oleh para timsukses kandidat.

Bahkan ada beberapa pengurus Kecamatan (PK) yang tergiur oleh uang tapi mereka tidak profesional, sebetulnya sah-sah saja, namun hal ini akan menjadi dampak yang luar biasa bagi eksistensi partai ke depan dan melecehkan nilai-nilai demokrasi. Dalam praktiknya, demokrasi lebih sering berhenti dalam ”pelembagaan formal” dan belum hadir dalam realitas nyata. Dengan kata lain demokrasi hanya tumbuh dan berkembang dalam tataran ideal (das sollen) belum mewujud dalam tataran realitas. Memang itu semua merupakan bagian dari intrik politik, ada hal yang sering dilupakan oleh para pengurus dan kader, yakni subtansi dari Musda itu sendiri yang secara normative tentu menjungjung objektifitas dan proporsional terkait visi-misi yang seharusnya sesuai dengan kondisi tubuh partai saat ini. Dari beberapa kandidat tentunya memiliki tiupan angin segar untuk adanya perubahan di tubuh Golkar. Namun tiupan angin itu tidak dijadikan prioritas bagi sekelompok kader, merekapun lebih mementingkan nilai akhir, artinya proses dari persidangan, pembahasan formatur dan tata tertib (tatib) dinilai tidak lagi penting, padahal aturan main itu harus sesuai dengan AD/RT dan tata tertib (tatib) yang berlaku sebagai wujud dari konstitusional.

Akar Polemik, berangkat dari fenomena diatas musyawarah ini terlihat tidak sehat, jauh dari pendidikan politik yang bersandar pada asas demokrasi, bahkan disinyalir inkonstitusional. Kesadaran akan membesarkan partai semakin terkikis oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Sesungguhnya makna dari pemimpin partai atau kelompok organisasi adalah “kepemimpinan kolektif” jadi pemimpin partaipun bukan diartikan orang- orang melainkan sejumlah orang yang biasa disebut board yang memiliki hak dan kewajiban setara untuk memajukan organisasi.

Terlalu banyak kepentingan elite yang tidak terakomodir sehingga secara sengaja membuat manajemen konflik, namun realitas tersebut bukan diperpanjang melainkan harus secepatnya diatasi oleh elite politik dengan diimbangi perbaikan secara holistic, jangan sampai berimplikasi pada perpecahan kader. Sehingga unsur-unsur keberpihakanlah yang mengakibatkan urungnya pelantikan dan pengukuhan 74 orang calon pengurus yang terdiri dari 13 ketua dan wakil ketua, 13 sekretaris dan wakil sekretaris dan 7 bendahara dan wakil bendahara dan sisanya pengurus bidang.

Ketua terpilih DPD Golkar Syarip Hidayat Sag. Mengaku akan mengakomodir rivalnya, dan itu jalan yang seharusnya demi mempertegas kebersamaan dan integritas Golkar ke depan. Tentunya harus berhati-hati juga buat Syarip, apalagi trakrekord dalam organisasi sangat dipertanyakan. Bagaimana cara mengakomodir dengan baik tentunya perlu belajar melalui komunikasi politik persuasive yang transparan. Dan menjaga hubungan elite dengan terus mengakomodasi agar tidak menjadi bomerang bagi kepengurusannya.

Partai “sedewasa” ini tentunya tidak semestinya ada interpensi dari DPD Jawa Barat terkait pembentukan tim pengkaji guna membahas hasil Musda yang dinilai bermasalah di Jawa Barat termasuk Purwakarta. Lagi-lagi secara subtansi yang dipermasalahkan adalah konstitusi, bahakan tidak sedikit kader masih kurang memahami mekanisme persidangan. Terdapat multi tafsir dari ketentuan 30 persen bakal calon ketua DPD dan 50 persen plus satu. Kenapa itu bisa terjadi, dimana keberadaan kader-kader yang berintelektual, para aktivis, kenapa tidak bisa mengkritisi saat persidangan berlangsung, seolah-olah terbelenggu oleh kesadaran palsu. Bukan sebaliknya, setelah selesai Musda barulah banyak perbincangan layaknya komentator bola.

Artinya sikap legowo selayaknya para petarung sejati tidak hadir untuk menyukseskan Musda yang menjungjung tinggi konstitusi partai dan nilai demokrasi. Memang, demokrasi bukanlah sistem ideal untuk mengatur segala-galanya, tetapi di antara banyak sistem yang ada, demokrasi yang paling mungkin untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga negara. Hanya pada demokrasilah dimungkinkan terjadinya koreksi politik secara sistematik. Dengan demikian jangan sekali mencederai demokrasi sebab ia buah percakapan dari ruang publik dan kita harus menghargai itu, jika Musyawarah Daerah Golkar menghabiskan 150 Juta maka garansinya milik pengurus dan kader secara khusus dalam rangka memperkokoh estapet kepemimpinan di tubuh partai, secara umum Musda itu harus memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, sebagai ajang pembelajaran politik bukan sebaliknya.

Golkar harus berani membangun perubahan-perubahan struktural dan kultural yang intensif, maka dibutuhkan kerangka yang baru untuk menciptakan dan mempertahankan stabilitas partai ini. Namun untuk menuju proses pendewasaan politik (political maturity) akan sulit terjadi jika belum adanya kesadaran untuk mengembalikan politik sebagai perjuangan (la politique) kalau meminjam bahasa Gunawan Muhammad. Tentu saja kekurangan dan kelemahan yang timbul dalam Musyawarah Daerah VIII Partai Golkar sarat dengan nilai demokrasi dan manipulasi, sejatinya dilakukan dengan antusias dan lapang dada, karena masyarakat kita masih dalam tahap belajar.


MAFIA DAN KRIINALISASI di DUNIA PENDIDIKAN TIDAK DIGJAYA

Februari 18, 2010

Oleh: Denhas Mubarok T.A
(Ketua Parliament Wacth Indonesia”ParWI” Daerah Purwakarta)

Disadari atau tidak dunia pendidikan merupakan tanggung jawab kita semua dalam rangka mencerdaskan bangsa, sebagaimana yang termaktub dalam UUD1945. pendidikan merupakan jantung suatu bangsa, dimana melalui pendidikanlah maju mundurnya langkah bangsa ini. Sehingga jika sistem pendidikan kita tidak mengacu pada aturan Undang-Udang yang telah ditentukan maka dampaknya akan luas terasa pada ranah social, ekonomi, dan budaya.

Berbicara pendidikan tentunya berbicara tentang keutuhan sumberdaya manusia, bagaimana sistem pendidikan menjadi tolak ukur kemajuan masyarakat. Sungguh sangat ironis ketika melihat fenomena yang terjadi belakangan ini di Kabupaten Purwakarta, masalah muncul silih berganti, anehnya tidak pernah diselesaikan sampai keakar rumput, artinya tidak pernah tuntas. Padahal masyarakat saat ini menuntut ketegasan dan transparan terhadap problematika dunia pendidikan.

Ada beberapa yang harus segera ditindaklanjuti secara cepat dan tegas, beberapa kasus mengenai pendidikan menjadi catatan kita bersama. Diantaranya beberapa bulan lalu ada pemukulan seorang guru oleh oknum yang tidak bertanggungjawab di lingkungan Sekolah, alih-alih demi kedisiplinan terhadap siswa namun oknum membalas dengan tidak wajar dan itu akan berdampak rasa tidak nyaman bagi guru dalam proses belajar mengajar. padahal sangat jelas bahwa jaminan atas perlindungan dari ancaman tertentu telah diatur oleh UU Guru dan Dosen bahkan diperkuat oleh Peraturan Daerah (Perda). Selain itu adanya pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum yang memiliki jabatan terhadap salah satu pegawai negeri sipil PNS. Dan yang tidak pernah selesai sampai saat ini yakni prihal tauran antar sesama pelajar, yang memang sangat berdampak pada keselamatan masyarakat.

Kemudian isu yang berkembang saat ini, yakni prihal kelas jauh. Eksistensi kelas jauh atau kelas Sabtu- Minggu yang diselenggarakan di Kabupaten Purwakarta semakin menjamur. Penyelenggaranya dari beberapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang berdomisili di luar daerah Purwakarta, kurang lebih terdapat sebelas PTS. Secara legal formal keberadaan ini jelas tidak mengindahkan surat edaran Direktur Kelembagaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Dikti) Nomor: 595 /D5.1/T/2007 tanggal 27 Februari 2007, dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Republik Indonesia Nomor 2630/D/T/2000 yang telah jelas-jelas menyatakan larangan kelas jauh dan Sabtu/Minggu, bahkan ijazah yang dikeluarkan oleh penyelenggara kelas jauh “tidak sah” dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir atau penyetaraan bagi pegawai negeri sipil. Artinya jika eksistensi kelas jauh masih ada maka dunia pendidikan di Kabupaten Purwakarta ternodai.

Seperti beberapa oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS), demi pembinaan jenjang karirnya berani menghalalkan segala cara dengan mendobrak aturan yang berlaku (kuliah kelas jauh). Oleh sebab itu tentunya Badan Kepegawaian Daerah (BKD) harus sangat hati-hati dan slektif terhadap Ijazah yang digunakan dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kabupaten Purwakarta..

Bahkan jika disinyalir terdapat oknum pejabat ikut andil dalam penyelanggara kelas jauh maka harus ditindak tegas dan diberikan sanksi sesuai yang termaktub dalam PP Nomor 30 Tahun 1980. Jika perlu DPRD melalui komisi I dan IV memanggil para oknum tersebut dan intansi terkait, seperti Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora), Badan Kepegawaian Daerah (BKD) sekaligus menghadirkan Bupati Purwakarta. Sehingga DPRD tidak hanya memanggil namun harus berani menyelesaikan kasus itu sampai tuntas dengan merekomendasikannya agar Bupati dapat memberikan sanksi administrative dan harus dipidanakan.

Fenomena yang terjadi saat ini bagai daging didalam duri, artinya budaya masyarakat pragmatis mengikuti kelas jauh yang bagi mereka cukup efektif dan efisien ternyata akan berdampak pada penurunan sumber daya manusia itu sendiri dan penurunan terhadap kuwalitas pendidikan yang ada di Kabupaten Purwakarta.

Semua gambaran diatas masuk pada konteks kejahatan yang terorganisir artinya beberapa bentuk kriminalisasi pendidikan telah mewabah di Kabupaten Purwakarta belum lagi hal yang sensitif seperti kucuran dana Bantuan Oprasional Sekolah (BOS) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang memang perlu adanya pengontrolan ketat oleh pihak terkait dan masyarakat.

Terkait kelas jauh, penulis berpendapat bahwa sistem kelas jauh dan Sabtu-Minggu sebetulnya tidak memiliki tiga asas dalam pendidikan, diantaranya : (satu ) Asas Proporsionalitas, yaitu mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban. (kedua) Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangan. (ketiga) Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan ataupun proses penyelenggaraan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat ataupun pemerintah.

Berangkat dari ke-tiga asas tersebut kita dapat meraba bahwa dunia pendidikan di Kabupaten Purwakarta sangat jauh dengan harapan Digjaya Purwakarta sesuai Visi Misi-nya yang pertama yaitu “ pembangunan yang berbasis religi, dan yang berorientasi pada keunggulan pendidikan, kesehatan, pertanian, industri dan perdagangan.

Maka dari itu Bupati Purwakarta harus segera menindak tegas para oknum dan mafia pendidikan di beberapa instansi pemerintahan demi mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa (good governance).

Adapun tuntutan reformasi pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (disdikpora) Kabupaten Purwakarta oleh beberapa Mahasiswa dan masyarakat merupakan aspirasi yang harus diartikan sebagai keinginan masyarakat untuk mewujudkan perubahan yang signifikan atas kinerja Dinas dalam dunia pendidian. Selain itu guna memperoleh keadilan dan kesamaan hak sehingga taraf hidup masyarakat Purwakarta akan lebih baik dan sejahtera


Valentine’s Day Seremoni Kultural yang telah Mengakar

Februari 14, 2010

Oleh: Denhas Mubarok T.A
(Ketua Umum ParWI “Parliament watch Indonesia Kab.Purwakarta)

Hegemoni budaya telah menghilangkan jati diri para remaja, beberapa peradaban dibenturkan melalui arus informasi global. Pengaruh budaya barat atau dikenal dengan westernisasi merasuk pada sendi-sendi kearipan lokal bahkan mendobrak pintu agama. Berdalih kasih sayang, dan perasaan saling mencintai sesama manusia dapat menebar kebenaran yang universal. Tepatnya bulan ini semarak seremoni dalam mengaktualisasikan kasih sayang yang diwadahi budaya hedon telah ramai di perbincangkan bahkan dinantikan oleh kalangan remaja.

Tak heran dibeberapa kota besar banyak tempat hiburan telah dipersiapkan demi menyambut Valentine’s Day, bahkan beberapa icon bermunculan dimedia cetak atau televisi dengan bentuk yang pariatif. ada berupa kado, coklat, bunga dan lain-lain. Itu semua merupakan simbol yang tidak memiliki subtansi apapun dari ritual tersebut.

Bentuk perayaan yang bertepatan pada tanggal 14 Februari ini telah lama menjadi “seremoni cultural” yang menjadi kebiasaan melayu termasuk Indonesia. Beberapa kontroversi tidak menjadikan alasan untuk melaksanakan ritual ini. kritik dan opini yang dibangun oleh beberapa Ulama hanya dipandang sebagai seruan saja. Pagar-pagar syari’at dicopoti demi kemaslahatan kebiasaan yang telah mengakar. Nampaknya jelas perlu ada reinterpretasi terkait Valentine’s Day. Banyak kalangan remaja yang tidak tahu asal mulanya momen ini, sehingga sepatutnya kita paparkan historis dari beberapa referensi terkait Valentine’s Day.

Pada mulanya St.Valentine adalah seorang pendeta yang bijak, namun akibat pertentangannya dengan penguasa Romawi pada waktu itu Claudius II (268-270M) yang melarang adanya pernikahan dikalangan muda. Akibatnya pada tanggal 14 Februari 270M Valentine di hukum mati. Dan akibat perjuangannya dan kegigihan dalam membela pendapatnya, maka dia dianugrahi sebagai martyr atau syuhada (dalam Islam) dengan symbol ketabahan, dan berani dalam menjalani cobaan hidup. maka para pengikutnya memperingati hari kematian yang sekaligus dijadikan sebagai upacara keagamaan.

Namun upacara keagamaan itu berangsur-angsur hilang mulai abad 16M, bahkan dikaitkan dengan pesta perayaan jamuan kasih sayang, bangsa Romawi kuno yang disebut “supercalis” tepatnya pada tanggal 15 Februari yang akhirnya orang-orang Romawi itu masuk pada ajaran Nasrani (kristian). Kemudian, penerimaan upacara kematian St.Valentine secara kebetulan kepercayaan orang Eropa pada tanggal 14 Februari. bertepatan dengan waktu “kasih sayang” yang mulai bersemi bagai burung jantan dan betina.

Cerita ini lebih dari 1700 Tahun yang lalu. apakah tidak ada interpretasi-interpretasi lain yang sangat jauh dari objektifitas Valentine semakin kabur bahkan ngawur?. Potensi nalar kita seolah terkotori nafsu saat kesadaran palsu mengilustrasikan kasih sayang kita terhadap lawan jenis. Bayangkan, beberapa anak muda berkencan dengan dalih menabur cinta diantara mereka. Kalangan muda-mudi kehilangan kesuciannya demi jalinan kasih yang diyakininya. Padahal, polarisasi berhubungan dalam Agama apapun termasuk Islam sangat terjaga. Artinya, ada batasan-batasan tertentu dalam menjalin hubungan antara kaum Adam dan Hawa. Agama apapun sangat mencela hubungan bebas.

Kita tahu bahwa akal terdiri dari dua unsure. Yaitu, rasio dan hati. maka tak heran pada moment Valentin’s Day, banyak para remaja yang terjerembab pada kubangan hati yang memanfaatkan potensi nafsu birahi. Terkadang melihat fenomena itu semakin bias dan tumpang tindih antara kultur dan agama, seakan agamapun terproteksi sesuai lajunya perkembangan zaman.

Bukan berarti Agama khususnya Islam tidak memperbolehkan menabur kasih sayang, sebetulnya dalam urusan hati manusiapun dianugrahi sifat cenderung pada kebaikan (hanif). Dan sifat hanif ini terlihat begitu kasat mata dalam hablumminannas (hubungan antara sesama manusia). kita tahu bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk berbuat baik pada sesama, tidak memandang apakah dia muslim atau nonmuslim. Artinya, ini tidak lain bahwa manusia itu dianugrahi sifat hanif dan saling menyayangi sesama manusia.
Kemudian dalam kata kunci menyayangi yang paling berperan adalah nafsu (keinginan), maka dengan nafsu itulah manusia dapat mengemban amanah dalam menjaga kesuciannya dari hal-hal yang negative. Bagaimana eksistensi nafsu baik (nafsu mutmainnah) dan nafsu keburukan (nafsu amarah) dalam diri manusia saling mendominasi, jika kerangka berfikir (frame of thinking) sebagian saudara kita masih merayakan Valentin’s Day. maka nafsu mutmainnah- nya telah terdominasi oleh nafsu amarah.

Disadari atau tidak, upaya tradisi yang tidak sesuai tata nilai ajaran kita seakan menjadi tuntutan yang harus dilakukan. Padahal, ritualisasi ini tidak bisa ditolerir dan ini pembohongan publik yang paling besar. Atau bisa disebut juga dengan “taklid cultural” dikarenakan ketidaktahuan asalmuasal Valentine, maka generasi- kegenerasi menjadi budaya yang lumrah, padahal dasar hukum dari taklid itu dikecam. Taklid akan membawa pada kejumudan, jika sudah demikian maka susah dalam memcari cahaya kebenaran.

Walaupun berat keluar dari kungkungan ego dan menjauh dari bayangan kepalsuan, namun kita harus yakin bahwa dalam menggapai kemerdekaan dan menggapai kebebasan hidup telah diatur oleh aturan Ilahi, dan bukan aturan atau kepentingan bahkan kebiasaan makluk.

Moment yang membius ketidaksadaran ini dapat mengaburkan kita pada cinta yang hakiki. Yakni, dialah yang patut dicintai dan berhak untuk mencintai hambanya Tuhan semesta alam. Seperti yang tertera dalam hadis Qudsi: “Kecintaanku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling berkorban karena Aku dan yang saling mengunjungi karena Aku.” (Riwayat Ahmad).

Untuk itu bukalah topeng-topeng kepalsuan, anak-anak negeri harus berani berseru pada pergaulan yang baik dan normative sesuai ajaran Tuhan. Semoga kebiasan ini dapat luntur dan hilang pada suatu zaman dimana semua nilai kebiasaan kembali berpijak pada nurani.


Review Sosiologi Komunikasi Masyarakat Oleh: Denhas Mubarok T .A

Januari 12, 2010

Setelah mengikuti perkuliahan tampaknya jelas terabuka bagi mata penulis dalam memahami dan menganalisis aspek-aspek sosiologis dalam proses komuniksi massa. Begitu banyak teori – teori yang menjelaskan hubungan komunikasi massa dengan masyarakat termasuk media beserta efeknya.
Sebelum kearah sana sedikit kita singgung terkait landasan kajian teori dalam keilmuan. secara karakteristik menjadi tiga macam yaitu scientific bentuknya empiris, humanistic bentuknya interpretative, dan social science yakni ilmu-ilmu social. Scientific ilmu bersifat objektif menurutnya dunia adalah objek yang dapat di observasi sehingga mendapatkan penjelasan dengan seakurat mungkin dan berupaya memperoleh consensus dengan mereduksi perbedaan. Sedangkan humanistic, ilmu bersifat subjektif tergantung pada kreatifitas individual sehingga mengetahui respon subjektif individu dengan berusaha mencari interpretasi alternative. Terakhir social science memasukan elemen science dan humaniora agar dapat mengobservasi dan menginterpretasikan pola prilaku manusia kemudian membangun consensus.
Berangkat dari situ kemudian masuk kerangka berfikir, kita pasti mengenal konsep, banyak berpendapat bahwa konsep adalah sekumpulan ide-ide yang tergeneralisasikan. Sedangkan teori merupakan sekumpulan prinsip yang mengorganisasikan dunia empiris secara sistematis. Teori sangat diperlukan untuk menjelaskan sesuatu dalam istilah “cause effect dan achieving a goal” sesuatu yang melahirkan penyebab dan tindakan sadar yang didesain untuk mendapatkan hal yang baru di masa depan. Adapun fungsinya jelas yakni untuk menjelaskan dengan mengamati secara focus dan menyimpulkan secara generatif. Selanjutnya perspektif, atau disebut juga paradigma yang melukiskan cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Prspektif dapat digolongkan menjadi perspektif objektif (saintifik, empiris, positivistic, rasionalistik dan lain-lain) dan subjektif (fenomenologis, naturalistic, interpretative, humanistic dan lain- lain).
Aliran-aliran teori komunikasi terdiri dari structural fungsional, aliran ini mempercayai bahwa struktur social itu nyata dan berfungsi dengan cara di observasi, kemudian tidak mempercayai subjektivitas. Kemudian aliran kognitif yang focus pada “thinking” individu dan berbicara hubungan stimulus dan respon. Selanjutnya aliran interaksionis yang memandang manusia sebagai proses interaksi, dimana yang membentuk struktur social melalui interaksi dan bahasa dan simbol digunakan sebagai pencipta struktur tersebut sehingga diproduksi dengan demikian makna bersifat subjektif.
Selain itu ada juga aliran interpretif yang dapat menemukan makna dalam text dengan menekankan pada subjekltifitas dan focus pada pengalaman individu sehingga memahami masyarakat dalam pengalamannya. Dan terakhir aliran kritis memahami bahwa pengetahuan sebagai power. Dan focus pada isu ketidaksamaan yang berperhatian pada konflik kepentingan di masyarakat dan bagaimana cara komunikasi didominasi oleh suatu kelompok atas yang lainnya,
Belajar sesuatu tentunya tidak terlepas dari sejarahnya begitupun ilmu ini terbangun berawal dari beberapa fase, diantaranya: Pertama fase Rethorika (abad ke-5 SM) yang di pelopori oleh beberapa ilmuan di antaranya Aristoteles, Georgias, Protagoras, dan lainnya yang menyatakan bahwa retorika adalah seni berbicara yang mengandung keindahan di depan umum secara rasional. Kemudian fase berikutnya adalah Romawi, pengemmbangnya oleh Marcus Tulius Cisero (106-43 SM) yang dalam bukunya Oratore bertujuan untuk menyadarkan public tentang hal-hal yang menyangkut kepentingan rakyat, perundangan dan keputusan. Selanjutnya fase publisistik yang ditandai oleh penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1400-1464) serta kemunculan surat kabar pertama. Lalu fase Communication science berangkat dari penelitian lanjutan Wilbur Schramm dan Rogers beserta konco – konconya yang menyimpulkan bahwa komunikasi massa hanya satu diantara beberapa dimensi lain dalam proses komunikasi. Namun Carl Hovland (1960) memunculakan “sience of communication” yang mempunyai definisi sebagai suatu upaya sistematis utuk merumuskan dengan cara yang setepat-tepatnya atas pentransmisian informasi serta pembentukan opini dan sikap.
Berbicara tentang lingkup komunikasi tentunya tidak terlepas dengan sifat, bidang, tujuan, tekhnik, dan sebagainya. Berawal dari sifat, komunikasi bisa berbentuk verbal, non verbal, face to face bahkan komunikasi lewat media (mediated communication). Saat ini tentunya orang (middle class) banyak menceburkan diri dalam lautan teknologi yang kemudian ingin dapat dikatakan manusia modern, walaupun belum sesuai kebutuhannya, seperti fenomena facebook. Artinya mediated communication memiliki daya tarik yang luar biasa.
Kemudian Bidang komunikasi sangat banyak diantaranya; komunikasi social, politik, organisasi, intercultural, tradisional, bahkan komunikasi internasional. Dari beberapa bidang tersebut tentunya ada spesialisasi yang kita kaji secara fokus sesuai potensi kita. Seperti halnya penulis sangat tertarik dengan komunikasi politik, setidaknya dapat menganalisis isu- isu, atau iklan bahkan bentuk kampanye capres baik cawapres. Adapun tujuannya bisa merubah sikap, perubahan social, behavior dan lain sebagainya. Dan perubahan itu pasti dapat dirasakan secara langsung atau tidak langsung dalam berinteraksi.
Sedangkan fungsi dari komunikasi secara garis besar dapat berfungsi sebagai bentuk informasi, mengandung pendidikan, bahkan hiburan dan tentunya sangat berpengaruh. Adapun tekhnik komuikasi terdiri dari instructive, persuasive, invormatif. Tergantung tujuan dan kepentingannya apa, semisal iklan politik yang saat ini sering intens untuk mengajak atau menginformasikan dengan bahasa persuasive bahwa dialah yang pantas untuk menduduki RI satu. Walaupun gagasnnya kadang tidak rasional.
Terakhir adalah metode, metode komunikasi berbentuk banyak ada journalism, public relation, advertaising, broadcast, propaganda dan lainnya. Yang jelas memiliki unsur publicity. Menarik tentunya jika berbicara propaganda, seolah – olah maknanya memiliki nilai peyoratif dalam benak kita padahal propagandapun mempunyai unsure positif.
Berbicara model komunikasi bisa di sederhanakan menjadi tiga (typolopogi) yaitu sebagai aksi (model linear), sebagai interaksi (model interaksional) dan sebagai transaksi. Penting untuk dicerna bahwa terdapat tujuh tradisi dalam komunikasi yaitu: pertaama tardisi sosio psylkologis yang berbicara bahwa komunikasi sebagai pengaruh interpersonal. Kedua tradisi retorika, komunikasi dalam berbicara agar menarik public. Ketiga tradisi sosio cultural, komunikasi sebagai proses dalam pengembangan realitas social, ke empat tradisi kritik, sebagai cerminan wacana ketidakadilan. Kelima tradisi fenomenology , komunikasi sebagai dialog pengalaman pribadi dengan orang lain. Ke enam semiotic, dimana komunikasi sebagai proses berbagi arti melalui isyarat. Dan terakhir tradisi sibernet artinya komunikasi sebagai pemprosesan informasi.
Setelah penulis membelah dasarnya maka kemudian saatnya kita oprasi yang urgennya. Banyak literature mendefinisikannya namun agar lebih terarh penulis menyepakati bahw komunikasi massa sebagai bentuk menyiarkan informasi kepada khalayak yang heterogen secara serempak melalui media. Adapun karakteristik komunikasi massa bersifat umum, heterogen, melembaga, yang menimbulkan kesepakatan yang hubungan komunikan dan komunikator bersipat non pribadi, dan terdapat standarisasi proses produksi, distribusi, dan konsumsi isi media.
Terkait masalah bentuk komunikasi massa terdapat tiga pariabel; yang pertama bentuk pemerintah yakni melakukan control dan perintah. Dan yang kedua bentuk pelayanan bentuk ini sudah umum yang mengikat kepentingan bersama dalam pasar. Ke tiga bentuk asosiasi yang mengedepankan ikatan normative yang telah disepakati bersama antara kedekatan public tertentu terhadp sumber media tertentu. Kemudian madia massa berfungsi sebagai kontrol sosial, pendidikan, agen perubahan, serta hiburan. Walaupun saat ini fungsinya jauh sesuai harapan. Sehingga apa yang dibutuhkan sebagai rujukan informasi seolah-olah ikut serta dalam kejadian tertentu sehingga berpeluang memberikan pendapat dan mengkonfirmasi atas keputusan tertentu secara realitas terdominasi oleh hiburan. Kenapa, sebab masih banyak masyarakat kita (lower class) yang mengakkes media tidak mengedepankan subtansi.
Ada beberapa model dalam proses komunikasi massa diantaranya; model transmisi, intinya adalah proses mentransformasikan pesan dalam waktu tertentu sesuai tujuan, seperti berita. Kemudian model ekspresi, intinya menyamakan pandangan sehingga terbuka partisipasi dalam kurun waktu tertentu, dan tidak menekankan penyampaian informasi melainkan penampilan sehingga kegiatan itu terpuaskan bersama., seperti kontes dangdut, Indonesian idol dan sebagainya. Terakhir model perhatian, intinya adalah sesuai dengan tujuan utama media yakni menarik perhatian khalayak dan tentunya harus sesuai pandangan umum khalayak.
Selain itu juga terdapat teori- teori terkait model komunikasi massa seperti teori yang taka asing lagi di telinga penulis yaitu model jarim hypodermic, menurut teori ini media massa memiliki dampak yang kuat terarah secara langsung masuk pada benak khalayak. Kemudian one step flow model, yang menggambarkan bahwa media massa berkomunikasi langsung tanpa berlalunya suatu pesan pada orang lain, tapi semua pesan tidak merata dan tidak menimbulkan efek yang sama. Kemudian two step flow model yang melihat massa sebagai perorangan yang berinteraksi sehingga menekankan proses dari opinion leader kepada masyarakat yang pasif terakhir adalah Multi step flow model, dasarnya pada fungsi penyebaran secara berurutan yang terjadi pada kenyataan situasi dengan tujuan untuk mempertegas info itu sehingga banyak saluran..
Cepat, nyata, penting, serta menarik adalah karakteristik isi media. Selain berkarakter Mediapun memiliki nilai (value) diantanya: proxsimity yaitu info yang memiliki kedekatan tempat tinggal pembaca. Human interest yakni adanya nilai kemanusiaan. Timelines yaitu memiliki unsur factual. Dan terakhir consequences info tersebut melahirkan dampak bagi khalayak.
Media tidak terlepas dari indusrti sehingga muncul yang namanya karekteristik industri media seperti yang kita kenal competitive environment sering disebut market struktur atupun persaingan dalam perusahaan. Ada juga social expectations yaitu adanya korelasi yang saling terkait antara masyarkat dengan industri media seperti semakin programnya berkwalitas maka semakin beragam acara dan semakin disenangi. Dan terakhir adalah costumer requirtments, adanya harapan dari konsumen tentang produk media yang sesuai dan berkwalitas programnya.
Adapun hal yang menarik adalah tentang hirarki pengaruh, mungkin kurang lebih ada lima level yang mempengaruhi inti teks media yaitu pertama individual level yang berbicara kompetensi etika dan profesi, bagaimana pekerja media menumbuh kembangkan nilai ini. Kedua media rointines level kata kuncinya adalah waktu penerbitan baik majalah ataupun koran yang sudah ditetapkan. Ketiga organization level
yakni pengaruh besar yang memiliki media tertentu baik tokoh masyarakat, politisi, atupun pengusaha. Keempat extra media level diluar media berupa organisasi atau kelompok yang sangat berpengaruh. Terakhir ideology level yaitu satu ideologi yang dianutnya dari beberapa ideologi, baik kapitalis, liberalis, islamis dan lain-lain.