0leh: Denhas Mubarok T.A (Ketua ParWI Daerah Purwakarta)
Pemerintahan Kabupaten Purwakarta akhir-akhir ini selalu memanfaatkan momentum-momentum yang acapkali membuat sebagaian masyarakat heran dan saling bertanya, ada beberapa hal yang menjadi bangunan opini liar di beberapa stackholders yang cukup menarik untuk didiskusikan diantaranya pesta tumpeng, pembuatan patung, gempungan dan kegitan lainnya yang seakan memiliki nilai lebih dimata masyarakat. Memang ide itu cukup brilian yang tentu memiliki manfaat bagi masyarakat baik secara langsung maupun tidak.
Namun yang kosong disini adalah bentuk komunikasi, baik itu secara tatap muka (face to face communications), maupun komunikasi bermedia (mediated communications) secara timbal balik (two way reciprocal communications) antara pemerintah dan stacholders. Variable komunikasi itu mesti jadi catatan, bagaimanapun pemerintah masih buram melihat kondisi akar rumput (grass root) yang sebenarnya, contoh kecil apakah pemerintah telah memiliki data yang valid melalui survey terkait kebijakan, kegiatan yang selama ini telah dan sedang berlangsung, apakah pesta tumpeng itu membuat PNS menguntungkan atau sebaliknya, apakah gempungan itu tidak menjadi beban bagi Kepala Desa. Atau jangan-jangan dari kegiatan yang selama ini yang dianggap strategis dalam mendekatkan pemimpin dan rakyatnya itu menjadi blunder dan ancaman.
Sudah menjadi kepastian dalam hal pembangunan daerah terdapat kontadiktif. Namun bagaimanapun juga pemerintah harus belajar bahwa inilah dinamika demokrasi yang dipayungi otonomi daerah sehingga harus bisa berlaku adil dan bebas nilai terhadap kepentingan masyarakkat secara holistic, bukan sebagai sponsor bagi klompok tertentu. Sebagaimana UU No. 25 tahun 1999, daerah otonom mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan publik berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan adanya pertanggung jawaban (akuntabilitas) kepada masyarakat.
Sudah menjadi landasan dasar bahwa semua aktivitas pemerintah dalam menjalankan tugasnya termasuk proses pembangunan perlu adanya partisipasi publik sebagai agent controlling, pertanyaannya apakah selama ini tokoh masyarakat, para inohong, akademisi, parkatisi, dan alim ulama diajak untuk berdialog atau hiring terkait pembangunan oleh pemerintah. Sejatinya bentuk komunikasi massa berjalan dengan baik antara pemerintah dan masyarakat, sebab menjadi hipotesa awal jika suatu luapan masyarakat yang tidak bisa dibendung akan menjadi kerikil yang tersebar dan membahayakan eksistensi pemerintah itu sendiri. Contoh sederhana dari pembakaran patung di Jalan Tengah, itu merupakan cerminan riakan-riakan masyarakat yang sudah tidak bisa dibendung akibat aspirasi dan keinginan masyarakat tidak ditanggapi dengan baik.
Selain itu komunikasi politik sering dilupakan akibat power full nya eksekutif dalam melenggangkan kekuasaannya. Melihat kondisi saat ini etika politik yang belum terlalu kuat sehingga kompetisi politikpun berjalan tidak sehat, tidak fair dan inkonstitusional. Melihat kondisi parlemen yang saat ini tidak memiliki konsistensi dan keberpihakan terhadap partai membuat perselingkuhan terjadi antara eksekutif dan legislative.
Semua memiliki rule of the game, tidak bisa dibiarkan menebar kekuasaan dengan tidak etis yang pendekatannya irasional, mistis, bahkan terbuai masa historis yang tidak didasari akademik. Mau tidak mau ini merupakan cara penguasa dengan menciptakan political opponent (lawan politik) yang memang harus tetap menghormati aturan permainan di atas ring (politik). Namun logika itu tetap tidak berlaku sebab bagi penguasa kemenangan dan mempertahankan kekuasaan adalah segala-galanya. Moral dan politik menurut Plato adalah dua saudara kembar yang tidak boleh dipisahkan, sebagaimana halnya moral sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk menentukan nilai baik dan buruk atau benar dan salah dari setiap praktik dan keinginan setiap orang dalam masyarakat, maka politik dibutuhkan untuk mengatur masyarakat sesuai dengan aturan-aturan moral yang diterima oleh anggota-anggota masyarakat.
Semoga masyarakat, stakeholders yang memiliki ekspektasi terhadap perubahan Purwakarta ke depan dapat menerima, bagitupun pemerintah yang saat ini dinilai pasif ke depan bisa membuka diri sehingga terjadi Konsensus yang tepat dan berimbang (balances).